Bahaya Korupsi Bagi Perekonomian

VIVAnews - Berita perseteruan Buaya vs Cicak (polisi vs KPK) terus memanas, tak henti-hentinya memadati headlines media di Indonesia. Bahkan, topik soal korupsi menjadi buah bibir dan perbincangan hangat banyak kalangan.

Pembahasan melebar, bukan hanya dari sisi etika dan norma korupsi itu sendiri, tetapi juga disinggung dari sosial budaya, kriminologi, psikologi, bahkan dari sudut pandang ekonomi.

Definisi korupsi sesungguhnya beragam. Namun jika dipandang dari sisi ekonomi, korupsi berarti the misuse of public office for private gain. Dari sudut pandang ini pula, korupsi biasa terjadi di negara dengan sejumlah ciri berikut ini:

(1) Peran dominan dalam perekonomian dipegang oleh negara, sementara sektor swasta hanya memiliki peran sangat kecil. (2) Pemenuhan sebagian besar produk dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat dilakukan oleh negara, sementara hanya sebagian kecil yang disediakan oleh swasta. (3) Banyaknya kebijakan yang dibuat oleh pejabat public dalam rangka mengimplementasikan peraturan negara. (4) Minimnya transparansi dan akuntabilitas.

Berdasarkan ciri-ciri di atas, dapat dikatakan pada saat negara cenderung punya monopoly power yang tinggi, maka korupsi dengan mudah akan terjadi. Masalah birokrasi dan perundangan yang lemah akan memperbesar kemungkinan aparat negara korup.

Berani Adang Maling, Karyawan Alfamart di Semarang Naik Jabatan Jadi Kepala Toko

Tak pelak, sektor swasta harus membayar nominal tertentu kepada pejabat negara untuk mempermudah birokrasi atau justru untuk tidak diintervensi dalam proses produksinya. Inilah mengapa di negara berkembang, dimana monopoli kekuasaan berada di tangan pemerintah, korupsi cenderung tinggi.

Korupsi juga menyebabkan terjadinya inefisiensi. Sebab, uang yang dibayarkan ke pemerintah dalam bentuk pajak tidak teralokasikan kepada penyediaan barang publik dengan semestinya. Sebaliknya, dana tersebut mengalir ke kantong pengusaha dan oknum pemerintah. Akibatnya, kuantitas dan kualitas pelayanan publik lebih rendah daripada seharusnya.

Biaya yang ditanggung akibat perilaku korupsi yang sering dilakukan aparatur negara terhadap pelaku ekonomi swasta ini dalam terminology ekonomi sering disebut High Cost Economy. High Cost Economy ini mengakibatkan melambatnya roda perekonomian suatu negara sehingga pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi suatu negara.

Dalam beberapa penelitian yang dilakukan oleh peneliti ekonomi Mauro (Corruption and Growth, 1995), ditemukan pola hubungan korupsi dengan variable ekonomi lainnya. Korupsi, dalam riset tersebut, memiliki hubungan yang terbalik terhadap investasi dan pertumbuhan ekonomi serta pengeluaran pemerintah, khususnya untuk program sosial dan kesejahteraan masyarakat.

Korupsi, menurut Mauro, dalam sistem birokrasi pemerintah mempunyai korelasi yang signifikan terhadap alokasi penggunaan anggaran negara. Dampak buruk dari korupsi, anggaran yang harusnya untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan publik tidak terjadi. Namun, duit itu justru masuk kantong-kantong pejabat negara.

Bukan hanya itu. Peneliti ekonomi lainnya, Dieter Frish menyatakan korupsi menyebabkan meningkatnya biaya barang dan jasa. Akibatnya utang negara melonjak dan ujung-ujungnya menurunkan standar kualitas penyediaan barang dan jasa.

Indonesia yang dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat korupsi tinggi, memang sering mendapat sorotan soal kebocoran anggaran negara. Pada masa Orde Baru, korupsi tak banyak terungkap karena penguasa tertutup dan meredam kasus-kasus korupsi.

Royal Enfield Guerilla 450 Siap Meluncur, Bakal Bersaing dengan Motor Ini

Pada era reformasi, sistem pemerintah lebih transparan sehingga banyak kasus korupsi terbongkar. Bahkan, kasus korupsi terungkap bukan hanya di pemerintah pusat, tetapi banyak terjadi di daerah seiring dengan diberlakukannya desentralisasi anggaran. Banyak pejabat daerah menjadi tersangka kasus korupsi APBD.

Walaupun demikian, tidak berarti ada perbaikan penanganan korupsi di Indonesia. Tengok saja posisi peringkat korupsi Indonesia versi CPI (Corruption Perception Index) yang dirilis oleh Transparency International (TI). Jika dilihat secara time series sejak tahun 2001 hingga 2008, dapat diketahui bahwa pasca reformasi, penanganan kejahatan korupsi di Indonesia semakin membaik.

Posisi Indonesia membaik dari peringkat 140 pada 2005 terus meningkat ke posisi 126 pada 2008. Meski ada perbaikan, dalam soal korupsi Indonesia masih sejajar dengan Eritrea, Ethiopia, Guyana, Honduras, Libya, Mozambique dan Uganda dalam pemberantasan korupsi.

Keren, Jurnal Ahkam UIN Jakarta Masuk 100 Jurnal Terbaik Dunia

Tahun

Peringkat

Negara Yang disurvei

2001

88

91

2002

96

102

2003

122

133

2004

137

146

2005

140

159

2006

130

163

2007

143

180

2008

126

180

Masalah korupsi di Indonesia sangat erat terkait dengan masalah birokrasi, buruknya penerapaan good governance, serta buruknya moral pelaku bisnis dan pejabat negara. Oligarki, atau tingkat kompetisi politik, yang terjadi di negara ini, masih relatif rendah, sehingga korupsi relatif lebih sulit untuk diberantas. Sebab kompetisi politik yang tinggi dapat menurunkan insentif dalam melakukan korupsi.

Ke depan, perlu langkah perbaikan lebih baik untuk mengatasi masalah korupsi ini, tidak hanya pada tahap instrumen perundangan yang mengikat pelaku, namun juga perbaikan moral pejabat negara, birokrasi dan good governance. Perbaikan ini diharapkan dapat menurunkan rent seeking bagi para pelaku korupsi.

Selain itu, kontrol sosial seperti media, laporan studi, indeks korupsi, maupun media yang mengangkat kasus-kasus korupsi diharapkan dapat mengurangi tindakan korupsi.

Asriani adalah peneliti ekonomi VIVAnews, serta staf pengajar FEUI

asriani.sw@vivanews.com

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya