Asriani, Peneliti Ekonomi

Siasat Jitu Menembus Pasar Bebas China

VIVAnews - Ide ACFTA mulai dicetuskan oleh mantan Perdana Menteri China Zhu Rongji pada Pertemuan Puncak ASEAN Keenam tahun 2000, dan setelahnya pada 5 November 2002, ASEAN dan China menandatangani kesepakatan kerja sama Free Trade Area (ACFTA) selama 10 tahun, di Phnom Penh, yang dimulai pada 1 Januari 2010.

Ini berarti bahwa perpindahan barang, jasa, modal dan tenaga kerja antara ASEAN dan China harus bebas hambatan. Tujuan dari kesepakatan ini adalah untuk meningkatkan perdagangan yang akan meningkatkan efisiensi dalam produksi dan konsumsi di dua wilayah ini. Tujuan akhirnya adalah masalah kesejahteraan di dua kawasan.

Namun, yang terjadi saat ini adalah menyebarnya berbagai pendapat, baik optimis maupun pesimis. Pendapat yang optimis menyatakan bahwa pelaksanaan kesepakatan perdagangan akan bermanfaat bagi kepentingan geostrategis dan ekonomis bagi Indonesia dan negara-negara ASEAN secara keseluruhan. Selain itu, pertumbuhan ekonomi China akan menjadikan negara tersebut memiliki peranan yang signifikan di Asia.

Sedangkan, yang pesimis menyatakan bahwa kesepakatan perdagangan ini akan memiliki potensi runtuhnya industri lokal di Indonesia kurang kompetitif terhadap produk dari China. Industri seperti tekstil, garmen, dan alas kaki dikenal sebagai sektor padat karya yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak. Dan dengan murahnya produk China, dikhawatirkan justru akan mematikan produk lokal.
 
Secara literatur, berdasarkan hasil penelitian Tongzon pada 2005 "ASEAN-China Free Trade Area: A Bane or Boon for ASEAN Countries?" disebutkan bahwa China mempunyai struktur ekspor barang yang sama dengan ASEAN, namun dengan unit labor cost yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. 


Sedangkan, kajian Roland-Host dan Weiss pada 2004 yang berjudul "ASEAN and China: Export Rivals or Partners in Regional Growth?" menegaskan bahwa China merupakan negara kompetitor yang besar karena telah mengalami pergeseran dari labor intensive, menjadi capital and technological intensive. Inilah yang menyebabkan produk China memiliki harga yang relatif lebih murah. Ini pula yang ditakutkan oleh produsen lokal Indonesia.

Jika kita bicara ekonomi, maka kita akan selalu bicara dari sisi permintaan maupun penawaran. Dari sisi permintaan, konsumen di Indonesia akan diuntungkan, sebab mereka dapat mengonsumsi barang dengan harga yang lebih murah. Akan tetapi, di sisi penawaran, produsen domestik akan kalah bersaing dan merugi, terutama produsen lokal dengan modal yang keahlian yang minimal.

Kekhawatiran ini ditunjang oleh data dari Departemen Perdagangan RI yang menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah total perdagangan RI dan China dari 8,7 miliar dollar AS pada 2004 menjadi 26,8 miliar dollar AS pada 2008, namun dengan defisit sebesar 3,6 miliar AS di tahun 2008.

Dengan data tersebut, apakah hal itu menunjukkan bahwa Indonesia akan dirugikan dalam kesepakatan kerjasama tersebut? Padahal, jika ditinjau lebih jauh, dalam kesepakatan tersebut, terdapat beberapa kesepakatan yang seharusnya dapat menguntungkan Indonesia.

Salah satunya adalah adanya fasilitas yang dikenal sebagai Early Harvest Program dan adanya mekanisme perlindungan (safety guard mechanism) jika dinilai ada sektor-sektor yang mengalami kerugian atau akibat harga yang terlalu murah. Yang dimaksud dengan Early Harvest Program adalah bahwa Indonesia mengajukan 14 item produk sektor pertanian yang dikeluarkan dari perjanjian perdagangan bebas.

Selain itu, Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN lainnya dapat mengekspor sejumlah hasil pertanian tanpa dikenakan tarif apa pun di China mulai tahun 2004 hingga awal 2010. Namun, sayangnya Indonesia kurang memanfaatkan skema yang menguntungkan ini hingga awal 2010.

Agaknya, Indonesia kurang jeli untuk mengambil kesempatan sebesar-besarnya dari kesepakatan ini. Indonesia seharusnya dapat meningkatkan comparative advantage terhadap produk dari China. Dan ini membutuhkan spesialisasi. Dengan adanya spesialisasi, Indonesia akan mengimpor dari dan juga mengekspor ke China. Produk-produk unggulan Indonesia di antaranya karet, batu bara, gas, bahan baku logam mineral mentah, tekstil, kertas, dan minyak sawit atau crude palm oil (CPO) memiliki penetrasi pasar ke China cukup besar.

Dengan demikian, peranan pemerintah menjadi sangat diperlukan dalam menjalankan hasil kesepakatan ini. Pemerintah harus membenahi berbagai kebijakan yaitu, pertama  mengupayakan peningkatan kapasitas, produksi, dan kualitas komoditas pertanian Indonesia.

Selain itu, kebijakan untuk mendorong peningkatan daya saing ekspor produk pertanian unggulan, seperti sawit, karet, cokelat, manggis, salak, nanas, dan komoditas hortikultura lainnya. Perlu diperhatikan bahwa terjadi surplus neraca perdagangan untuk komoditas perkebunan pada tahun 2008 meningkat hampir tiga kali lipat menjadi 2,757 miliar dollar AS.

Kedua, pemerintah perlu untuk membuat suatu kebijakan yang memanfaatkan murahnya produk China untuk mendorong produksi dengan pasar dalam negeri. Murahnya harga produk akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat Indonesia akan meningkat, sehingga diharapkan agar produsen lokal melihat dan memanfaatkan peluang tersebut.

Ketiga, Pemerintah perlu mendorong peningkatan diferensiasi produk unggulan, yaitu produk unggulan Indonesia jangan hanya mengandalkan komoditas yang telah dianugerahkan Tuhan untuk masyarakat Indonesia. Indonesia perlu untuk meningkatkan kemampuan untuk meningkatkan produk olahan yang dapat meningkatkan nilai tambah bagi perekonomian Indonesia. Jadi produk unggulan kita tidak hanya komoditas pertanian atau perkebunan, namun juga intermediate goods atau bahkan final goods yang kompetitif terhadap produk China yang cenderung memiliki comparative disadvantage.

Keempat, pemerintah perlu untuk mengurangi dan menghilangkan hambatan perdagangan antar daerah yang acapkali muncul. Mahalnya harga produk di daerah lain, seringkali disebabkan oleh ekonomi biaya tinggi yang dapat diminimalisir oleh pemerintah. Penyediaan sarana transportasi dan komunikasi yang murah dan aman sangat penting dalam usaha memperbaiki struktur harga produk domestik.

Secara umum, dengan adanya kesepakatan ACFTA ini, maka kesempatan terbuka luas bagi Indonesia. Dengan adanya ACFTA akses pasar bagi Indonesia akan terbuka luas, tidak hanya untuk produk pertanian dan pertambangan, tetapi juga jasa, seperti pariwisata, jasa keuangan, pendidikan, investasi, dan faktor-faktor lingkungan hidup serta HAM. 

Dengan demikian, Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya memiliki kesempatan untuk memperoleh keuntungan dalam kerjasama ini. Indonesia perlu berperan aktif tidak hanya untuk melindungi produk dalam negeri, namun juga untuk berkompetisi dengan produk-produk lain, yang bukan hanya dari China, namun juga dari negara lainnya.

Waketum Nasdem Ahmad Ali Datang ke Rumah Prabowo, Surya Paloh Sebut Ada Urusan Pilkada

*

Asriani, penulis adalah peneliti ekonomi VIVAnews dan pengajar ekonomi mikro di Fakultas Ekonomi UI.

Viral Pajero Polisi Kabur Usai Tabrak Lari Avanza Warga, Kombes Hadi Ungkap Faktanya
Evakuasi penemuan mayat. (Foto ilustrasi).

Izin Menginap di Kantor Polisi, Pria Tuban Ini Ternyata Baru Membunuh Istrinya

Warga Desa Pakis, Kecamatan Grabagan, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, digegerkan oleh aksi dugaan pembunuhan yang dilakukan oleh MO (64 tahun) terhadap istrinya sendiri, TA.

img_title
VIVA.co.id
24 April 2024