- VIVAnews/Maryadi
VIVAnews - PT Garuda Indonesia melalui kuasa hukumnya mengajukan keberatan atas keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang memutuskan perusahaan dan delapan maskapai lain terbukti melakukan monopoli biaya tambahan bahan bakar (fuel surcharge).
Pengajuan banding tersebut masuk setelah perusahaan mendaftarkan surat keberatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada, Jakarta, Kamis, 17 Juni 2010.
"Sejak awal sikap Garuda menolak keputusan itu," kata Kuasa Hukum Garuda Eri Hertiawan.
Menurut Eri, alasan keberatan Garuda tersebut didasarkan pertimbangan bahwa keputusan KPPU tidak dukung aspek formalitas yang jelas. KPPU dianggap tidak membuat berdasarkan alat-alat bukti yang sah. "Katanya Garuda monopoli, tapi (alasan itu) tidak ada alat bukti jelas," ujar dia.
Eri menambahkan untuk membuktikan bahwa Garuda melakukan monopoli harus berdasarkan keterangan dari saksi, ahli, dokumen, dan pelapor nasabah. "Ketentuan itu tidak dilakukan KPPU yang berarti melanggar hukum acara. Ketetapan itu tidak ada keterangan ahli," katanya.
Alasan kedua, kuasa hukum Garuda menilai tidak ada kejelasan mengenai keputusan KPPU bila dilihat dari aspek material. Asepek itu diantaranya dilihat dari aset bersangkutan dan penetapan perjanjian harga.
Kuasa Hukum Garuda yang lain Yogi Sudrajat menambahkan dalam pembuktian di KPPU, tidak ada bukti sah bahwa perusahaan pelat merah ini melakukan monopoli fuel surcaherge bersama maskapai penerbangan lain.
"2006 memang ada konsensus dari Departemen Perhubungan tentang penetapan fuel surcharge. Namun pemberlakuan itu hanya 3 bulan dan setelah mendapat masukan KPPU sebaiknya tidak dilakukan sehingga akhirnya semua maskapai membatalkan," kata dia.
Sekadar informasi, KPPU memutuskan sembilan maskapai penerbangan nasional bersalah dengan melakukan kartel fuel surcharge. Untuk kesembilan maskapai itu KPPU mengenakan ganjaran denda dan ganti rugi dengan total Rp585 miliar.
Keputusan tersebut merupakan keputusan terhadap perkaran No. 25/KPPU-1/2009 yaitu dugaan pelanggaran pasal 5 dan pasal 21 UU Nomor 5 Tahun 1999 mengenai pelarangan praktik monopoli dan persiangan tidak sehat. (hs)