- VIVAnews/Anhar Rizki Affandi
VIVAnews - PT Bank Central Asia Tbk optimistis kondisi likuiditas dan biaya dana masih sangat baik, sehingga tak akan menaikkan suku bunga pinjaman. Kenaikan suku bunga pinjaman sangat dipengaruhi oleh ketersediaan likuiditas dan biaya dana itu.
"Jadi, tidak semata inflasi, tapi dari cost of fund (biaya dana). Kalau selama likuiditas cukup, lalu misalnya bunga deposito, tabungan, tidak naik, sebenarnya perbankan juga tidak akan menaikkan suku bunga," ujar Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk, Jahja Setiaatmadja, di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa 22 Januari 2013.
Menurut dia, kenaikan inflasi memang mau tidak mau akan menaikkan tingkat suku bunga pinjaman. Apalagi, bila Bank Indonesia meresponsnya dengan menaikkan suku bunga acuan (BI Rate).
"Pada saat inflasi tinggi, kemungkinan besar BI Rate naik, suku bunga LPS naik, dan kebutuhan likuiditas meningkat," ujar dia.
"Nah, ini mendorong terjadinya bank bersaing untuk menarik dana masyarakat. Kalau sudah begitu, suku bunga mulai naik, kalau bunga dana naik, pasti pinjaman juga naik," tuturnya.
Khusus untuk BCA, dia melanjutkan, tingkat suku bunga pinjaman tidak akan naik hingga kuartal dua tahun ini.
Dari data suku bunga dasar kredit (SBDK) BCA per akhir Desember 2012, tercatat SBDK kredit korporasi dipatok sebesar 9 persen, kredit ritel 10,50 persen, kredit konsumsi berupa kredit pemilikan rumah (KPR) 9,50 persen, dan kredit konsumsi non-KPR 8,18 persen.
Kredit konsumsi jadi kebutuhan
Dia juga menjelaskan, banyaknya multitafsir tentang pengertian kredit konsumtif memberikan persepsi negatif pada segmen kredit tersebut. KPR maupun kredit kendaraan bermotor (KKB) tidak sepenuhnya bersifat konsumtif.
"Konotasinya jadi buruk bagi bank, seolah-olah itu kredit konsumtif, padahal itu merupakan kebutuhan," kata Jahja.
Jahja menjelaskan, kredit mobil sekelas Avanza juga tidak termasuk konsumtif, sebab masyarakat masih membutuhkan mobil tersebut untuk sarana bekerja, sehingga mampu menekan biaya transportasi.
"Mobil itu untuk mengganti sarana transportasi. Itu barang substitusi," ujarnya.
Sementara itu, untuk penetrasi kredit perbankan, ia menambahkan, hingga akhir 2015 pangsa kredit terhadap produk domestik bruto (PDB) diproyeksikan mencapai 38 persen. "Masih ada ruang untuk pertumbuhan kredit, tapi ada risiko yang perlu diwaspadai," jelasnya.
Pertama, seperti ancaman krisis likuiditas, terutama likuiditas valas. Kedua, ia menyebutkan, masih ada ancaman bubble. Ketiga, adanya risiko keterbatasan ekspansi kredit akibat adanya persoalan permodalan perbankan, sehingga diperlukan penguatan untuk bisa bersaing antarbank.