Sumber :
- VIVAnews/Muhamad Solihin
VIVAnews
Baca Juga :
Labuan Bajo Siap Sambut Wisatawan! Temukan Peluang Baru di Webinar Outlook Kepariwisataan NTT
Baca Juga :
Risma dan Menteri PKB Tak Ikut Buka Puasa Bersama Jokowi, Budi Arie: Jangan Didramatisir
Pemerintah diharapkan membuat terobosan kebijakan yang dapat memperbaiki neraca perdagangan.
"Sekarang masalahnya bukan hanya sentimen, tapi lebih ke struktural. Ketahanan pangan kita rapuh, impor terus meningkat," ujar Destry kepada
VIVAnews
di Jakarta.
Pelemahan rupiah kali ini, menurut Destry, memang terbilang cukup dalam. Berdasarkan data PT Bank Central Asia kurs rupiah diperdagangankan di level Rp11.200/dollar sementara PT Bank BNI mematok rupiah di level Rp11.095/dollar.
Bank Indonesia sebagai bank sentral diharapkan tidak gegabah dalam melakukan intervensi. Karena dikhawatirkan akan menggerus cadangan devisa.
"Kalau masalah struktural, BI tidak bisa terus lakukan intervensi. Karena justru cadangan kita akan semakin habis," kata Destry.
Menurut Destry, sebaiknya bank sentral memberikan kesempatan kepada mekanisme pasar agar rupiah menemukan keseimbangan barunya.
"BI dan pemerintah harus realistis tidak bisa mengekang rupiah, pergerakan rupiah lebih ke supply dan demand-nya," kata Destry.
Destry menjelaskan, di negara lain yang karakternya sama dengan Indonesia sebagai negara berkembang, seperti India dan Brazil, juga mengalami masalah defisit transaksi berjalan meski pertumbuhan ekonomi mereka tinggi. "Masalahnya hampir sama, makanya investor lokal juga jangan ikutan panik," katanya.
Menurut Destry, pelemahan rupiah akan berdampak pada industri perbankan. Bank diperkirakan akan lebih memperketat penyaluran kredit valas. "Bank akan menaikkan suku bunga tapi lebih ke suku bunga simpanan, mereka akan lebih ketat lagi soal dana dan kredit," kata Destry. (sj)
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
"Sekarang masalahnya bukan hanya sentimen, tapi lebih ke struktural. Ketahanan pangan kita rapuh, impor terus meningkat," ujar Destry kepada