Alasan Kedelai Lokal Kalah Saing dengan Impor

Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan
Sumber :
  • ANTARA
VIVAnews - Produktivitas kedelai Indonesia masih kalah dibanding negara pemasok kedelai, Amerika dan Brasil. Salah satunya adalah luas lahan yang berbeda jauh.
Soal Cincin di Jari Manis dan Dilamar di Bali, Ini Kata Syifa Hadju

"Yang pertama adalah luas lahannya. Di Amerika dan Brasil itu lahan pertaniannya luas dan berlipat-lipat. Kalau kita kan, negara besar tapi kepulauan dan banyak airnya. Kalau di sana kontinen (benua)," kata Wakil Menteri Pertanian, Rusman Heriawan, ketika ditemui VIVAnews di kantornya, Jakarta.
Ada Banyak Cerita! Dude Harlino dan Alyssa Soebandono Ungkap Proses Kelahiran Anak Perempuan Pertama

Perlu dicatat bahwa luas lahan untuk komoditas kedelai di Indonesia mencapai 570 ribu hektare.

6 Cara Ampuh dan Mudah Bersihkan Mika Lampu Mobil yang Kusam
Selain itu, menurut Rusman, adalah penguasaan lahan petani di Indonesia yang berbeda jauh dengan lahan yang dimiliki petani Amerika. "Kalau lahan petani di Amerika itu sepuluh kali lebih luas dari yang dimiliki petani kedelai Indonesia. Kalau di sini, paling kurang satu hektare satu petani. Di sana, cost-nya juga lebih murah," ujarnya.

Selanjutnya, teknologi yang digunakan oleh Amerika dalam mengembangkan tanaman kedelai lebih maju. Di negeri Paman Sam itu, ada penggunaan teknologi
genetic modified organism
(GMO) yang bisa meningkatkan produktivitas kedelai hingga berlipat-lipat.

"Di Indonesia hanya pakai teknologi konvensional. Di Indonesia, GMO itu belum diterima, mungkin masalah lingkungan dan segala macam. Takut membawa penyakit, bakteri atau apa transgenik itu," ujarnya.

Meskipun, dia menjelaskan, kedelai yang diimpor dari Amerika dan Brasil, merupakan produk GMO, yakni produk transgenik yang nantinya diolah menjadi tahu dan tempe.

Rusman melanjutkan, pengembangan GMO di Indonesia masih kontroversial. Masih dikaji para ahli transgenik yang ada di Indonesia.

"Kalau memang mau buat lompatan besar tentang kedelai, ya pakai model GMO. Itu memang harusnya bisa dipertimbangkan agar aman terhadap lingkungan, tanaman, dan ketika dikonsumsi," tuturnya.

Swasembada kedelai berat
Sementara itu, mantan kepala Badan Pusat Statistik (BPS) tersebut mengatakan, Indonesia pernah mengalami swasembada kedelai pada 1992. Saat itu, produksi kedelai mencapai 1,5 juta ton dengan konsumsi nasional setara itu. Namun, kini konsumsinya meningkat menjadi 2,4-2,5 juta ton kedelai.

"Sekarang, bandingkan dengan produksi kedelai lokal sebanyak 850 ribu ton dengan konsumsi 2,5 juta ton. Itu artinya, 30 persen kebutuhan kedelai kita hanya bisa dipenuhi dari produksi nasional. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, terpaksa impor," kata Rusman.

Sebenarnya, dia mengungkapkan, pemerintah telah mempersiapkan beberapa bahan pangan yang akan diswasembadakan, yaitu beras, jagung, gula pasir, daging sapi, dan kedelai. Namun, swasembada kedelai ini masih dirasa berat.

"Beras, tingkat swasembadanya sudah 100 persen, jagung mungkin sudah 98 persen, dan gula pasir 95 persen. Yang lainnya sudah hampir 100 persen. Daging sapi sudah 85 persen. Nah, kedelai ini masih 30 persen," kata dia. (art)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya