Kembalinya Inalum ke Pangkuan Ibu Pertiwi

Pabrik PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum).
Sumber :
  • Setkab.go.id

VIVAnews - Hari ini, Senin, 9 Desember 2013, pemerintah akan menandatangani pengakhiran kerja sama (termination agreement) PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dengan pihak Jepang. Setelah sebulan lebih tertunda, akhirnya Inalum bisa resmi dikelola Indonesia.

Menurut rencana, penandatanganan ini akan dilakukan di Ruang Garuda, Kementerian Perindustrian, Jakarta, pada sekitar pukul 14.30-15.00 WIB.

SYL Bungkam Usai Diperiksa KPK soal Oknum Auditor Palak Kementan

Acara ini juga akan disaksikan oleh Menteri BUMN, Dahlan Iskan, Menteri Perindustrian, M. S. Hidayat, dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa.

Inalum merupakan pabrik peleburan aluminium dan industri yang memiliki pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yakni PLTA Asahan 2 yang berkapasitas 600 MW.

Pada 7 Juli 1975, di Tokyo, Indonesia dan 12 perusahaan investor yang tergabung dalam Nippon Asahan Aluminium (NAA) dari negeri Sakura itu menandatangani perjanjian induk untuk PLTA dan pabrik peleburan aluminium Asahan yang dikenal dengan Otoritas Asahan.

Tidak hanya itu, di area tersebut, terdapat satu pelabuhan yang potensial, yaitu Pelabuhan Kuala Tanjung.

Adapun 12 perusahaan investor yang tergabung NAA antara lain, Sumitomo Chemical Company Ltd., Sumitomo Shoji Kaisha Ltd., Nippon Light Metal Company Ltd., C Itoh & Co., Ltd., Nissho Iwai Co., Ltd., Nichimen Co., Ltd., Showa Denko K.K., Marubeni Corporation, Mitsubishi Chemical Industries Ltd., Mitsubishi Corporation, Mitsui Aluminium Co., Ltd., dan Mitsui & Co., Ltd.

Menurut perjanjian, masa berakhirnya kerja sama kedua negara ini jatuh pada 31 Oktober 2013.

Pada 6 Januari 1976, Indonesia Asahan Aluminium, sebuah perusahaan patungan antara pemerintah Indonesia dan Nippon Asahan Aluminium Co., Ltd, didirikan di Jakarta. Inalum adalah perusahaan yang membangun dan mengoperasikan proyek Asahan, sesuai dengan perjanjian induk.

Perbandingan saham antara pemerintah Indonesia dan Nippon Asahan Aluminium Co., Ltd pada saat perusahaan didirikan adalah saham pemerintah sebesar 10 persen dan NAA sebesar 90 persen. Pada Oktober 1978, perbandingan tersebut menjadi 25 persen saham pemerintah dan 75 persen saham NAA.

Pada Juni 1987, perbandingan saham menjadi 41,13 persen saham pemerintah dan 58,87 persen saham NAA. Perbandingan saham di Inalum berubah kembali pada 10 Februari 1998 menjadi 41,12 persen saham pemerintah dan 58,88 persen saham NAA.

Menjelang 31 Oktober 2013, pemerintah bersama-sama dengan DPR mengagendakan pertemuan untuk membahas Inalum. Pemerintah pusat mengaku siap untuk mengelola Inalum.

Sesuai master agreement, pada 1 November 2013, Inalum semestinya sudah diserahkan ke pangkuan Republik Indonesia 100 persen. "Anda sudah tahu, Komisi VI waktu itu (Selasa 23 Oktober 2013) sidangnya terbuka serta memberikan persetujuan sepenuhnya. Dan, BUMN siap mulai 1 November mengelola Inalum," kata Menteri BUMN, Dahlan Iskan, di Jakarta, saat itu.

Dahlan berpendapat, potensi-potensi Inalum, industri peleburan dan PLTA Asahan 2, bisa digunakan untuk kepentingan dalam negeri. Untuk kebutuhan industri, Inalum bisa digunakan guna memasok kebutuhan aluminium di dalam negeri. Sementara itu, PLN bisa membeli listrik, yang menurut Dahlan, murah, untuk memasok listrik di Medan, Sumatera Utara.

"PLN bisa membelinya 6 sen dolar per KWh," ungkapnya.

PT Perusahaan Listrik Negara menjelaskan, perusahaan telah lama bekerja sama dengan Inalum untuk menggunakan listrik. Perusahaan pelat merah ini melakukan barter listrik: PLN menggunakan 45 MW dari Inalum pada malam hari. Sementara itu, mereka memasok listrik dengan daya yang sama pada siang hari.

"Kami tukar-tukaran listrik dengan Inalum. Mereka memberi kami listrik 45 MW. Siangnya, kami memberikan dengan jumlah yang sama," kata Dirut PLN, Nur Pamudji, pada Jumat, 8 November 2013.

Begitu pula dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Jero Wacik, yang mengutarakan keuntungan pemerintah kalau Inalum "jatuh" ke pelukan Indonesia.

"Komisi VII kan berwenang di bidang energi. Nanti pembangkit listrik sebesar 600 MW ini bisa dialokasikan untuk mendukung kelistrikan di Sumatera Utara dan Sumatera," kata Wacik seusai rapat dengan Komisi VII di DPR, Rabu siang, 23 Oktober 2013.

Dia menuturkan, pembicaraan tersebut masuk akal, karena pembangkit listrik itu bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan listrik di wilayah tersebut. Tetapi, hak itu baru bisa dilakukan apabila perusahaan tambang patungan Indonesia-Jepang ini sepenuhnya jatuh ke Indonesia.

"Itu nanti setelah sudah menjadi milik kita. Nanti kami yang akan mengatur. Kan, ada Kementerian BUMN, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian ESDM. Rakyat dan pabrik, kan, memerlukan listrik," jelasnya.

Menteri Keuangan, Chatib Basri, pun turut buka suara tentang manfaat Inalum. Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR pada Rabu 30 Oktober 2013, Chatib mengatakan, ada beberapa keuntungan yang akan didapatkan negeri ini kalau Inalum bisa sepenuhnya menjadi milik Indonesia.

"Saat ini, Inalum hanya bisa menyuplai 20-30 persen permintaah aluminium untuk pasar domestik. Sementara itu, 70-80 persennya diimpor," kata Chatib di DPR RI, Jakarta.

Selain itu, industri peleburan tersebut rupanya memiliki profitabilitas yang cukup baik. Pemurnian alumina menjadi aluminium ingot mempunyai peningkatan nilai tambah yang sangat tinggi dari alumina seharga US$350 per ton menjadi US$2.500 per aluminium ingot.

7 Universitas Swasta Terbaik di Indonesia, Menurut QS World University Rankings 2024

Lalu, pemerintah melirik perusahaan yang diklaim sebagai perusahaan peleburan terbesar di Asia Tenggara ini, karena mempunyai fasilitas lengkap dan siap dikembangkan lebih lanjut.

"Inalum memiliki pabrik carbon plant, reduction plant, dan casting plant. PLTA Siguragura (PLTA Asahan 2) adalah pemasok tenaga listrik untuk kebutuhan 14.000 KWh per ton aluminium cair," kata mantan kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) itu.

Daerah Lirik "Keseksian" Inalum

Sebenarnya, pada rapat Komisi VI DPR RI bersama dengan Kementerian BUMN, Kementerian Perindustrian, dan Pemerintah Daerah Sumatera Utara, mereka memberikan pola pembagian saham 70:30 dengan rincian 70 persen pemerintah pusat dan 30 persen pemerintah daerah.

Namun, dalam penentuan pola ini, Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho, mengaku kecewa.

"Saran kami, kan, 60 persen. Kemudian, kami mempertanyakan bahwa pemerintah pusat meminta 70 persen. Berapa lagi porsi kami? Jadi, yang jelas keputusannya kurang puas," kata Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho, seusai rapat dengan Komisi VI, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian BUMN.

Gatot menuturkan, Pemda Sumut akan melobi ulang kepada pemerintah pusat dan memperjuangkan hak mereka, seperti kepemilikan saham atas Inalum sebesar 40 persen.

Zulhas dan Putrinya Bertemu Mahasiswa Indonesia di MIT, Ini yang Dibahas

"Yang jelas, kami akan melobi ulang. Banyak hal lain lagi yang kami perjuangkan kepada pemerintah pusat," ungkapnya.

Menanggapi hal itu, pemerintah meminta agar pemerintah daerah bersikap tenang terlebih dahulu. Menteri BUMN, Dahlan Iskan, mengatakan masalah ini bisa dibicarakan kalau Inalum sudah kembali ke Indonesia 100 persen.

"Seperti tadi saya bicara, jangan ribut-ribut dulu. Biarlah Inalum ke Indonesia dulu. Kalau sudah kembali, bisa dibicarakan. Pemerintah itu kan pusat dan daerah," kata Dahlan di DPR.

Sebenarnya, ada beberapa manfaat yang bisa didapatkan Indonesia dari Inalum. Menurut pengamat BUMN, Said Didu, pabrik smelter ini memiliki kesatuan dengan pembangkit listrik dan pelabuhan.

"Saya melihat ada kesatuan perusahaan ini dengan pembangkit listrik," kata Said ketika dihubungi VIVAnews.

Menurut Dirjen Kerja Sama Industri Internasional Kementerian Perindustrian, Agus Tjahajana, potensi Inalum bagi Indonesia cukup menggiurkan.

Produksi aluminium di Inalum sebesar 230.000-240.000 ton per tahun. Ada sekitar 60 persen produksinya diekspor ke Jepang. "Tujuh puluh persen aluminium ini diekspor ke Jepang," kata Agus ketika dihubungi VIVAnews.

Agus mengatakan, kebutuhan aluminium nasional mencapai 600.000-700.000 ton per tahun yang 100.000 ton kebutuhan lokal dicukupi dari luar negeri.

Apabila Inalum menjadi milik Indonesia, tentu aluminium yang semula diekspor ke Jepang, bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri. Selain itu, kondisi ini bisa menyelamatkan neraca perdagangan Indonesia.

"Kalau impor, kan, pakai dolar. Tapi, kalau beli dalam negeri, pakai rupiah," jelasnya.

Agus menambahkan, keberadaan Inalum ini setidaknya merupakan penerapan peraturan yang melarang adanya ekspor bahan tambang mentah, yaitu Peraturan Menteri ESDM No. 7 Tahun 2012. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah bagi bahan tambang. 

"Lagipula di Inalum terdapat smelter (pemurnian barang tambang mentah). Itu bisa dimanfaatkan untuk memberikan nilai tambah. Sebab, ada peraturan minerba yang melarang ekspor mineral dalam kondisi mentah. Kami juga berharap agar pabrik aluminium ini juga terintegrasi dengan bauksit yang selama ini diekspor ke luar negeri," ungkapnya.

Dari harga hingga molornya pengakhiran kerja sama

Pada Rabu, 30 Oktober 2013, Komisi XI mengetok palu anggaran senilai Rp7 triliun untuk mengakuisisi 58,8 persen saham Inalum. Tetapi, pemerintah tetap memproyeksikan harga sebesar US$558 juta. Namun, harga ini belum mengalami kepastian.

"Jadi, itu bisa naik dan bisa turun. Tetapi, kami berusaha untuk kurang dari itu. Kalaupun ada, kenaikannya tidak banyak," tutur Chatib.

Lalu, tim perundingan Inalum dari Indonesia membawa hasil harga ini ke perundingan Inalum dengan Jepang. Awalnya, diagendakan pada 1 November, seharusnya Inalum kembali ke Indonesia.

Tetapi, terkesan ada penguluran waktu dilaksanakannya termination agreement tersebut. Sebelumnya, Menteri Perindustrian, M. S. Hidayat, menuturkan, termination agreement itu dipastikan molor, hanya sekitar beberapa hari, tapi nyatanya penguluran waktunya hingga berminggu-minggu.

Hidayat mengatakan, harus ada kesepakatan harga antara pemerintah dan konsorsium perusahaan Jepang. Sempat terdengar wacana apabila kesepakatan harga tidak tercapai, pemerintah siap maju ke perundingan arbitrase internasional.

"Yang terpenting itu, angkanya sesuai dengan kita. Kalau tidak selesai, kan lebih berat. Jangan sampai hanya sekadar selesai. Kalau ini tidak menguntungkan, ya, kita harus siap dengan arbitrase sekalipun, misalnya," kata Chatib di Kementerian Keuangan, Jakarta.

Selain itu, ada audit yang dilakukan oleh auditor independen yang dilakukan kedua pihak. Pemerintah Indonesia menunjuk BPKP sebagai auditornya, sedang Jepang menunjuk auditornya sendiri.

Namun, karena BPKP dianggap masih dalam area pemerintahan, akhirnya kedua pihak setuju untuk menggunakan auditor Jepang.

"Kami setuju adanya auditor yang ditunjuk kedua pihak," kata Dahlan seusai rapat pimpinan Kementerian BUMN di kantor Asuransi Ekspor Indonesia, Jakarta.

Dari perundingan tersebut, dicapai angka US$556,7 juta sebagai harga pembelian saham Inalum. "Saya hanya menjawab singkat soal Inalum. Kesepakatan harga sudah tercapai secara resmi kemarin," kata Hidayat di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Kamis, 28 November 2013.

Dia mengatakan, nilainya sebesar US$556,7 juta atau sekitar Rp6,5 triliun dan jumlah tersebut telah disepakati pihak Indonesia dan Jepang. Nantinya, penandatanganan pengakhiran kerja sama akan dilakukan di Indonesia.

"Termination agreement saja yang sudah diupayakan di Indonesia pada tanggal 9 atau 10 Desember," kata dia.

Hidayat memang menargetkan, penandatangan pengakhiran kerja sama Inalum dilakukan sebelum 12 Desember nanti.

"Saya memberi tanggal 10 Desember, karena memberi kesempatan pada kedua pihak untuk konsolidasi internal, dan masing-masing punya tim antara Jepang dan Indonesia," kata dia.

Dahlan sempat menyebut bahwa pihak Jepang merasa agak kecewa terkait pengakhiran kerja sama yang kurang lancar.

"Pihak Jepang sebenarnya agak masygul mengapa pengakhiran kerja sama Inalum tidak berjalan mulus, padahal mereka menginginkan happy ending," kata Dahlan di kantor ASEI.

Seperti diketahui, kepemilikan Jepang atas Inalum berakhir pada 31 Oktober 2013. Sisa saham Inalum yang dimiliki Jepang sebanyak ratusan juta unit dan itu pun yang ditawarkan Indonesia kepada Jepang.

Sayangnya, harga saham masih menjadi perdebatan di antara kedua pihak. Meskipun demikian, Dahlan menyebut para investor Inalum tetap akan mengembalikan Inalum kepada Indonesia.

"Padahal, tanggal 30 Oktober 2013, mereka sudah melakukan perpisahan baik-baik. Direksi kumpul dengan karyawannya, makan-makan, nyanyi-nyanyi, dan memberikan pidato perpisahan. Diharapkan setelah diambil alih Indonesia, Inalum bisa menjadi lebih baik," paparnya. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya