Menilik Nasib Program Konversi BBM

Peluncuran SPBG Pertamina Envogas
Sumber :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar

VIVAnews - Program konversi bahan bakar minyak ke bahan bakar gas kerap maju mundur tak jelas. Kadang hangat, kadang juga melempem.

September lalu, misalnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Armida Alisjahbana, mengatakan akan studi banding ke beberapa negara, salah satunya ke Thailand. Negeri ini dianggap lebih maju dalam hal penggunaan gas sebagai sumber energi alternatif.

Tapi, setelah itu, kabarnya tak jelas lagi. Nasib program yang digadang-gadang bisa meringankan beban subsidi itu juga nyaris tak terlihat.

Pengamat energi Kurtubi menilai pemerintah tidak serius mengembangkan bahan bakar gas untuk kendaraan. Sudah bertahun-tahun pemerintah mengatakan akan membangun infrastruktur SPBG dan menyediakan konverter kit, tapi tak kunjung ada.

Awas Kehabisan! Pendaftaran Mudik Gratis Moda Bus Kembali Dibuka, Kuota 10.000 Orang

Konverter kit merupakan alat yang dipasang di kendaraan agar mobil bisa "minum" gas, tak lagi bensin atau solar.  "Jelas sekali pemerintah tidak serius," katanya, Kamis 13 Maret 2014.

Dia tidak mengerti mengapa pemerintah, terutama Kementerian Energi yang bertanggung jawab terhadap pembangunan SPBG dan Kementerian Perindustrian untuk penyediaan konverter kit, tidak serius. Padahal, pemerintah pastinya sudah menyadari bahwa program BBG merupakan solusi penting untuk mengurangi subsidi BBM.

"Harga BBG sudah tidak subsidi dan juga lebih murah dibandingkan BBM, sehingga tidak memberatkan rakyat," katanya.

Pengamat energi Komaidi Notonegoro juga mengatakan hal yang sama. "Sejak awal saya melihat program BBG ini tidak serius," katanya. Terbukti, sampai saat ini, pemerintah belum mempunyai cetak biru program BBG.

Berdasarkan data yang diperoleh, saat ini, rata-rata penyaluran SPBG secara nasional hanya 55 persen dan bahkan beberapa di antaranya di bawah 10 persen. Kebutuhan satu unit SPBG untuk mencapai keekonomian sekitar 800.000 liter setara premium per hari.

Hal ini disebabkan karena kurangnya ketersediaan konverter kit yang merupakan komponen penting program tersebut. "Tender pengadaan konverternya juga belum jalan."

Menurut dia, solusinya harus dimulai dengan membuat cetak biru sebagai dasar program tersebut. Kalau cetak biru belum ada tentu program akan berjalan tidak terarah dan tidak bisa dievaluasi.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa mengakui kebijakan konversi jalan di tempat. Pemerintah telat untuk mempercepat pembangunan infrastruktur gas saat ini.

Hatta mengungkapkan, ketersediaan sumber daya alam gas yang dimiliki Indonesia saat ini masih belum bisa dimanfaatkan dengan baik.

"Itu saja yang mesti kami akui, gas segala macam cukup. Sekarang kami upayakan untuk mempercepat itu," ujarnya.

Terkait converter kit, Hatta mengatakan, pemerintah tidak bisa seluruhnya menyediakan. Peran swasta sangat penting sebagai agen pemerintah untuk menyukseskan kebijakan ini. "Tidak mungkin disediakan oleh APBN," tambahnya.

Dia menuturkan, walaupun masih banyak kekurangan, tetapi insentif kepada para pengguna BBG telah diberikan, salah satunya dengan mensubsidi harga BBG sehingga harganya jauh lebih terjangkau ketimbang BBM.

Tak jelas

Sekadar informasi, pengenalan penggunaan gas sebagai alternatif bahan bakar kendaraan di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak 1995. Akan tetapi, payung kebijakan terhadap pengembangan BBG baru diterapkan 10 tahun kemudian, yaitu dengan Perda DKI Jakarta No.2/2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.0048/2005 tentang Standar Mutu Serta Pengawasan Bahan Bakar.

Payung hukum penggunaan BBG kemudian dilengkapi dengan Peraturan Gubernur DKI No.141/2007 tentang Penggunaan BBG bagi Angkutan Umum dan Kendaraan Operasional Pemda. "Meski telah memiliki dasar hukum, program pengembangan BBG di dalam negeri hanya timbul tenggelam," kata pengamat energi yang juga direktur ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto.

"Wacana penggunaan BBG mengemuka saat harga minyak melonjak tajam dan subsidi bahan bakar membengkak, serta tenggelam lagi saat krisis berlalu," ujarnya.

Catatan ReforMiner Institute, wacana penggunaan BBG tak hanya terjadi pada kali ini. Beberapa waktu lalu, program gasifikasi pada kendaraan telah dilakukan pada ribuan taksi, bajaj, dan bus TransJakarta. "Namun, program-program itu tak berkesinambungan," katanya.

Pemerintah, dia mengatakan, tak punya platform yang jelas dan konsisten terhadap program konversi. Program konversi BBG hanya sebagai kebijakan parsial yang menjadi program satu instansi tertentu, sedangkan instansi lain memilih tak tahu atau bahkan tak mendukung.

Banyak yang Mudik H-4, Menhub Minta Maskapai Berikan Promo di H-10
Ilustrasi proyek pembangunan.

Perkuat Ukhuwah, KEIND Ingin Berkontribusi Lebih untuk Negara

Lebih dari 200 pengurus pusat, pengurus daerah, pengurus luar negeri serta para Dewan KEIND hadir dalam silaturahmi nasional.

img_title
VIVA.co.id
29 Maret 2024