- VIVAnews/Ikhwan Yanuar
VIVAnews - Pemerintah dinilai mau tidak mau harus menaikkan kembali harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Sebab, Indonesia membutuhkan ruang fiskal yang lebih besar untuk berkembang pada beberapa tahun ke depan.
Ekonom Standard Chartered Bank, Fauzi Ichsan, Rabu 16 April 2014, mengungkapkan bahwa saat ini fiskal Indonesia terbebani dengan subsidi BBM.
"Kalau harga BBM tidak dinaikkan tahun ini, defisit transaksi berjalan akan lebih dari tiga persen PDB (produk domestik bruto). Dan hal ini, berarti melanggar UU APBN," kata Fauzi dalam acara konferensi pers di Jakarta.
Untuk itu, menurut Fauzi, ada baiknya Presiden saat ini menaikkan harga BBM bersubsidi, karena subsidi yang diberikan pemerintah saat ini cukup tinggi. Harga keekonomian BBM, kata dia, mencapai Rp11.000 per liternya.
Dia menambahkan, jika tidak dinaikkan oleh pemerintahan saat ini, mau tidak mau presiden yang baru nanti harus menaikkan harga BBM bersubsidi. Ia juga menilai, adanya subsidi tetap terhadap BBM sebesar Rp2.500 atau Rp2.000 dari harga keekonomian adalah jalan keluar yang cukup baik.
"Intinya adalah menyalurkan dana subsidi ke sektor yang lebih membutuhkan seperti orang miskin dan peningkatan infrastruktur," katanya.
Sebab, Fauzi menambahkan, saat ini subsidi BBM sebesar 80 persen dinikmati oleh kalangan menengah ke atas. "Bahkan, harga BBM di Indonesia itu lebih murah dibanding negara-negara yang lebih miskin dari Indonesia," katanya. (art)