BCA: Kami Penuhi Kewajiban Pajak, Tak Langgar Undang-Undang

BCA Klaim Tidak Melanggar Peraturan Perpajakan
Sumber :
  • VIVAnews/Muhamad Solihin

VIVAnews - PT Bank Central Asia Tbk (BCA) membantah telah melanggar aturan perpajakan. Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja, menyatakan bahwa bank swasta terbesar di Indonesia ini telah mengikuti aturan perpajakan yang berlaku.

"Proses yang ditempuh BCA, kami sebagai wajib pajak, telah memenuhi kewajiban dan menjalankan haknya melalui prosedur serta tata cara perpajakan yang benar. Kami tidak melanggar undang-undang," ujar Jahja dalam jumpa pers di Menara BCA, Jakarta, Selasa 22 April 2014.

Pada 1998, Jahja melanjutkan, BCA mencatat kerugian fiskal sebesar Rp29,2 triliun akibat krisis ekonomi. Berdasarkan regulasi yang berlaku, kerugian yang dimaksud bisa dikompensasikan dengan penghasilan (tax loss carry forward) mulai tahun pajak berikutnya hingga lima tahun. Kemudian pada 1999, BCA mulai membukukan laba fiskal sebesar Rp174 miliar.

Lalu, berdasarkan pemeriksaan pajak 2002, menurut Jahja, Direktorat Jenderal Pajak mengoreksi laba fiskal periode 1999 tersebut menjadi Rp6,78 triliun. Dalam nilai tersebut, ada koreksi yang terkait dengan transaksi pengalihan aset termasuk jaminan sebesar Rp5,77 triliun. Hal ini dilakukan dengan proses jual beli yang tertuang dalam Perjanjian Jual Beli dan Penyerahan Piutang No. SP-165/BPPM/0660.

Kejar Rekapitulasi, KPU Papua dan Papua Pegunungan Terbang ke Jakarta Malam Ini

BCA menganggap hal itu sudah sejalan dengan instruksi Menteri Keuangan Nomor 117/KMK.017/1999 dan surat Gubernur Bank Indonesia Nomor 31/15/KEP/GBI pada 26 Maret 1999.

Menurut Jahja, ada perbedaan pendapat dengan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan dengan BCA. "Kami melaksanakan instruksi Gubernur BI dan Menteri Keuangan yang dikeluarkan bersamaan tanggal 26 Maret 1999," kata dia.

Jahja menjelaskan, BCA menjalankan perintah untuk mengalihkan pinjaman bermasalah (non performing loan/NPL), pinjaman yang telah direstrukturisasi, termasuk agunan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Tapi, Direktorat Jenderal Pajak melihatnya sebagai kasus penghapusan NPL.

"Ini terjadi salah paham. Kami sudah melakukan sesuai surat itu. Ada bukti nyata bahwa itu pengalihan aset. Kalau penghapusan, saldo piutang macet tetap ada di BCA," kata dia.

"Setelah 2003, agunan itu berhasil ditagih Rp3,29 triliun dan tidak diberikan ke BCA, tapi ke BPPN. Kalau piutang macet, seharusnya dikembalikan ke BCA. Kami merasa benar," tuturnya.

Kemudian, BCA melayangkan proses keberatan atas koreksi pajak yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak pada 17 Juni 2003. Keberatan tersebut diterima oleh Direktorat Jenderal Pajak dan dinyatakan dalam SK Nomor KEP-870/PJ.44/2004 pada 18 Juni 2004.

"Kami merasa benar. Ketika dilakukan koreksi pajak, kami mengajukan keberatan kepada LTO (Large Tax Office) dan surat itu dinaikkan ke kanwil dan Ditjen Pajak. Ini dilakukan oleh tax consultant dan dilakukan surat menyurat," kata dia.

Jahja menambahkan, dari periode 1998-2003, ada kompensasi pajak senilai Rp7,81 triliun. Kalau keberatan bank itu atas koreksi pajak senilai Rp5,77 triliun tidak diterima Direktorat Jenderal Pajak, masih ada sisa tax loss carry forward Rp2,04 triliun.

Atasi El Nino, Menteri Pertanian: Pemerintah Siapkan Pompanisasi dengan Biaya Rp5,8 Triliun

"Itu hangus dan tidak bisa dipakai lagi. Jadi, berdasarkan hal itu, kami menjelaskan permasalahan yang ada dan alasan mengapa kami melakukan keberatan," kata Jahja.

Sebagai informasi, pada Senin 21 April 2014, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Hadi Poernomo sebagai tersangka korupsi dalam kasus penanganan keberatan pajak Bank Central Asia tahun 2003.

Pengumuman penetapan status baru Hadi itu bertepatan dengan hari terakhirnya menjabat sebagai ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sekaligus hari ulang tahunnya, 21 April.

Ketua KPK, Abraham Samad, mengatakan, Hadi dijerat dalam kapasitasnya sebagai mantan Direktur Jenderal Pajak 2002-2004. Hadi diduga menyalahi prosedur dengan menerima surat permohonan keberatan pajak BCA tahun 1999. Akibatnya negara kehilangan pendapatan Rp375 miliar.

Polri Bongkar Kasus TPPO Modus Kirim Mahasiswa Magang ke Jerman, 5 Orang Jadi Tersangka
Kekerasan anti-Muslim telah meningkat di seluruh India sejak Narendra Modi menjadi perdana menteri pada tahun 2014 (Doc: The New Arab)

5 Mahasiswa Muslim di India Terluka Akibat Ditimpuk Batu saat Salat

5 mahasiswa internasional terluka di Universitas Gujarat India akhir pekan ini setelah massa nasionalis Hindu menyerang kelompok tersebut saat mereka melakukan Salat.

img_title
VIVA.co.id
19 Maret 2024